Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 71 tahun) adalah
seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri
Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang
begitu luas, mulai pemain sepak bola, politik, ekonomi, seni dan budaya,
dunia perfilman, dan musik. Pandangannya sangat liberal dan terbuka.
Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Ia seorang jurnalis dan
sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia
memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan
dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema
HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis
kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.
Pendiri dan mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang,
Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih
dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto
Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media
umum.
Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas
Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori
Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur,
selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian
Mainichi Shimbun (Tokyo).
Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan
dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily
Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi
siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan
Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B.
Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di
zaman Jepang,” tutur Goenawan.
Pada 1971, Goenawan bersama
rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang
mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis
kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya
membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan
pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang
merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada
1994.
Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia
juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja
mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga
memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat
kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi
terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah
politik.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto
diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan
jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian,
Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama
Koran Tempo.
Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai
masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur
menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada
Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo
pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos
Arta Graha itu.
Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari
psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia
dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat.
Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.
Selama
kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan
berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam
Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa
Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam
Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks,
Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).
Hingga kini,
Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara,
narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang
diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine
Albright menjadi tuan rumah.
Karya dari seorang Goenawan Mohamad berupa :
1.Buku yang terdiri dari
- 9 volume Catatan Pinggir
- Tan Malaka dan Dua Lakon Lain
- Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
- Empat Sajak dalam "Manifestasi"
“Kata, Waktu”
2. Puisi yang terdiri dari
- Di Mercu Suar
- Yang Tak Menarik dari Mati
- Tentang Maut
- Di Antara Kanal
- Aktor
- Rite of spring
- Tentang chopin
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Sumber informasi :
My twitter username : @firman_NG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar